Peneliti: Uji Klinis Temuan Alkes Dan Obat Bukan Penghambat Inovasi

Jakarta, Sering didengar keharusan uji klinis temuan alat kesehatan (alkes) maupun obat dapat menghambat inovasi. Namun peneliti menegaskan pendapat itu tak benar.

Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) memang menfasilitasi aneka penelitian di Tanah Air. Namun saat penelitian itu terkait dengan ranah kesehatan, yg notabene bersentuhan dengan pasien, maka Kemenkes yaitu regulator penting peredaran alat kesehatan.

Saat ada inovasi baru, kemudian memfasilitasi penelitian, memang benar itu di bidangnya Kemenristek Dikti. Tapi ketika masuk ke uji klinis, harus badan independen yg melakukan,” kata manajer riset dan pengabdian masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Dr dr Budi Wiweko SpOG(K).

Kepada detikHealth baru-baru ini, pria yg akrab disapa dr Iko ini mencontohkan badan independen misalnya saja FKUI atau fakultas kedokteran universitas yang lain yg memang milik lembaga uji klinis.

“Kita tak menghambat inovasi, tetapi justru mau membantu. Dan kalian memang ingin mendesain lagi uji klinisnya dari in vitro dulu, dari nol lagi. Krusial diingat, kalian nggak menghambat inovasi, dan kami mau menyelamatkan pasien,” tambah dr Iko.

Ia menambahkan misal ada alkes baru yg belum diuji klinis tetapi telah dikomersialisasi, sementara yg mulai menggunakan adalah dokter bagi mengobati pasien, maka seandainya terjadi satu yg tak diinginkan dokter yg mulai mendapat tuntutan. Sebab dokterlah user-nya. Ad interim penemu alat kesehatan itu umumnya tak mulai mendapat tuntutan.

Baca juga: Uji Klinis Temuan Alkes Lebih Mudah Dilakukan di Luar Negeri? Ini Kata Peneliti

dr Iko mengatakan, buat melakukan uji klinis utama diingat bahwa peneliti tak boleh terlibat di dalamnya. Justru seandainya memungkinkan, seharusnya si inventor atau penemu yg mendanai. Misalnya ada akademisi menemukan alat kesehatan dan ada badan independen, dia mulai meminta alat temuannya diuji dengan biaya sendiri. Sebab, seandainya alat itu laku, dijual, maka keuntungan anak masuk ke kantong si penemu.

“Kecuali kalau pengembangannya dari universitas. UI misalnya mengembangkan alkes, kan pemerintah tuh, patennya pun sebagian ke pemerintah,” kata dr Iko.

Temuan alat kesehatan yg belakangan ini menjadi perbincangan adalah ECCT temuan Dr Warsito. Kemenkes dan Kemenristek Dikti telah melakukan review terkait penemuan tersebut. Plt Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) drg Tritarayati, SH, dalam hasil review menyampaikan riset yg sebelumnya dikerjakan Warsito perlu dilanjutkan dan difasilitasi oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) beserta Kemristek Dikti. Hal ini karena dari riset sebelumnya, keamanan dan efektivitas alat tersebut tidak mampu disimpulkan.

Rencananya mulai dilibatkan 8 rumah sakit pendidikan yg bekerja sama buat mengembangkan alat. Selain itu mulai dibentuk juga konsorsium yg terdiri dari ahli buat mengawasi jalannya protokol dan mendorong agar riset cepat selesai.

Terkait ECCT, dr Iko mengatalan UI pernah menawarkan dan berkomunikasi dengan tim Warsito pada 19 Januari dahulu saat Warsito dan tim mengikuti kursus tentang pengembangan alkes yg diselenggarakan FKUI bersama Kemenkes. dr Iko menuturkan, FKUI juga pernah diundang ke laboratorium Warsito. Namun, kala itu dr Iko tak dapat hadir dan pihak UI diwakilkan oleh salah sesuatu profesor.

“Saat itu sempat dikatakan penelitiannya memang harus diulang lagi. Sekarang ini kalian kan mau membuktikan alat ini efektif atau nggak. Kalau nggak ya dihentikan tetapi kalau efektif kalian teruskan. Justru kami mau meluruskan,” tandas dr Iko.

Baca juga: Demi Keamanan Pasien, Uji Klinis Krusial dalam Temuan Obat dan Alat Kesehatan

(rdn/vit)
Sumber: http://health.detik.com



Sumber Artikel Peneliti: Uji Klinis Temuan Alkes Dan Obat Bukan Penghambat Inovasi

0 Response to "Peneliti: Uji Klinis Temuan Alkes Dan Obat Bukan Penghambat Inovasi"

Posting Komentar