Jakarta, Review penelitian terhadap alat Electro-Capacitive Cancer Therapy (ECCT) atau yg dikenal rompi antikanker temuan Dr Warsito sudah diumumkan dua waktu lalu. Pasca review ada saran buat Warsito.
Saran ini dilontarkan peneliti bidang kesehatan, manajer riset dan pengabdian masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Dr dr Budi Wiweko SpOG(K). “Ikuti panduan yg telah diberikan Kemenkes. Bahkan Kemenristek Dikti katanya mau membiayai ya ikutin saja. Ikuti dari tahap uji in vitro dahulu kemudian uji in vivo pada hewan,” kata pria yg akrab disapa dr Iko ini ketika berbincang dengan detikHealth baru-baru ini.
Kemudian, menurut dr Iko desain alatnya pun harus benar yakni dengan mengikuti GCP dulu dibandingkan dengan current and standard existing treatment. Seperti diketahui, pengobatan standar kanker adalah kemoterapi atau radioterapi. Maka, ECCT harus dibandingkan dengan beberapa metode tersebut. Cara membandingkannya pun dikomparasi antara pengobatan dengan kemoterapi plus rompi plasebo dengan kemoterapi plus rompi temuan Warsito.
Baca juga: Uji Klinis Temuan Alkes Lebih Mudah Dilakukan di Luar Negeri? Ini Kata Peneliti
“Bisa saja alat ini memang terbukti bagus ketika uji in vitro dan in vivo. Artinya memang kalian dapat mendesain dengan lebih baik. Nah, ketika ini kan belum diketahui alat warsito ini bagi kanker apa dan stadium berapa, dosis voltage-nya berapa,” lanjut dr Iko.
Soal klaim efektivitas alat kesehatan baru dalam menyembuhkan kanker, dr Iko mengungkapkan pada dasarnya kecurigaan pasien mengidap kanker atau tidak, cuma mampu dibuktikan dengan biopsi. Sebab, hasil USG saja seringkali masih kurang akurat. Begitupun setelah pasien menjalani terapi, buat membuktikan pasien telah sembuh dari kanker maka harus dikerjakan biopsi karena biopsi yaitu baku emas atau golden standar dalam tatalaksana kanker.
“Saat ada alat baru yg diklaim mampu menyembuhkan kanker, ketika dikerjakan uji klinis, dibandingkanlah pengobatan standar kanker merupakan kemoterapi atau radioterapi dengan kemo atau radioterapi plus alat baru itu. Sebelum pengobatan dengan alat baru itu dilihat biopsinya, dan sesudahnya pun dilihat lagi biopsinya. Bagaimana? Apa alat itu memang benar efektif mengobati kanker?” papar dr Iko.
Soal hak paten suatu penemuan, dr Iko menekankan segala peneliti mungkin saja mampu mematenkan penelitiannya. Tetapi, hak paten agar alat ini dapat dikomersilkan adalah hal yg berbeda bagi alat kesehatan dan obat karena harus ada perantaranya merupakan uji klinis.
Baca juga: Peneliti: Uji Klinis Temuan Alkes dan Obat Bukan Penghambat Inovasi
Saat review diumumkan, Warsito sendiri mengaku gembira karena akhirnya ada kejelasan dari persoalan yg menghantuinya sekitar empat tahun. “Kami gembira riset ini dilanjutkan oleh Kemenkes dan Kemenristekdikti. Ini teknologi yg pertama di dunia dan lahir di Indonesia. Teknologi ini awalnya dikembangkan di ruko sewaan dan kita sadar semua sesuatunya di sana buat memenuhi standar baku sulit dicapai,” kata Warsito dalam konferensi pers ketika itu.
Ia mengaku masih mulai melakukan penelitian dasar pra-klinis dan pengembangan alat di Indonesia. Meski begitu, ia menyiratkan bahwa penelitian lanjutan seperti riset klinis dan uji klinis dapat saja dikerjakan di luar negeri. Ia beralasan bahwa peraturan yg ada di Indonesia masih belum jelas, sehingga menyulitkan penelitian yg ia lakukan.
“Kita mulai mencari tempat di mana saja yg mampu melihat data dan knowledge yg sudah terbangun selama ini dan mampu mengambil manfaat dari situ. Kalau ada yg mau mengulang di dalam negeri ya tidak masalah, kami juga mulai menyediakan peralatan yg dibutuhkan,” ujar Warsito pada minggu lalu.(rdn/vit)
Sumber: http://health.detik.com
Sumber Artikel Pasca Review Rompi Antikanker, Ini Saran Untuk Dr Warsito
0 Response to "Pasca Review Rompi Antikanker, Ini Saran Untuk Dr Warsito"
Posting Komentar